Minggu, 21 November 2010

WALI SUFI KAROMAH SYEKH AHMAD MUTAMAKIN

Wali Khariqul Adah Yang
Disegani
SETIAP - 10 Muharam ,
(Selasa, 2 Maret 2004),
di desa kecil di pantai
utara Jawa Desa Kajen,
Pati, lautan manusia
berdatangan
memperingati haul KH
Ahmad Mutamakkin
(AM). Sosok kiai yang
lahir di Tuban ini lebih
memilih Kajen, sebuah
desa kecil di pantai
utara Jawa, untuk
menyebarkan gagasan
Islamnya.AM adalah
seorang neosufis yang
hidup pada tahun 1645 -
1740.
Satu garis dengan
cerita Jawa pada awal
perkembangan Islam, Ki
Ageng Pengging, Sunan
Panggung, dan Among
Raja. Mereka dikenal
sebagai penganut
tasawuf yang
kemudian dieksekusi
yang berkuasa. Bahkan,
ada yang dikisahkan
dibakar hidup-
hidup.Barangkali gema
dari cerita yang lebih
masyhur dan memikat
dalam sejarah Islam di
Timur Tengah adalah
cerita tentang Husain
ibn al-Hallaj yang wafat
pada tahun 922. AM
adalah murid dari Syaikh
Zain, seorang Syaikh al-
Yamami, seorang
pemimpin tarekat yang
besar di Timur Tengah
terutama
Naqsyabandi.Dia ini
sebenarnya adalah
penerus dari tradisi
Naqsyabandi yang
dibawakan oleh Syaikh
Khaliq dari Naksyabandi
India ke tanah Kurdi,
yaitu di Arbarter dan
dari sana ke Aleppo di
pantai barat Suriah dan
kemudian melalui
Madinah di bawah ke
Makkah.Karena orang-
orang Kurdi itu
bermazab Syafiíi, tidak
usah heran ulama-
ulama kita yang ikut
tarekat kemudian
membawa pulang
mazab Syafiíi. Padahal ia
sebelumnya bermazab
Hanafi.Di sini arti
pentingnya seorang
Kurdi, Syekh Zein. Dia
mendidik Kiai
Mutamakkin. Pada saat
yang sama AM juga
belajar pada Imam al-
Kurrani, seorang sarjana
besar, seorang ulama
tradisional yang bisa
mengedepankan baik
tradisi keilmuan yang
tinggi maupun
kedalaman ilmu
pengetahuan
(Abdurrahman Wahid,
2002).Kebesaran AM
ditunjang oleh beberapa
data sejarah yang
menunjukkan dia
sebagai seorang wali
khariqul adah (tidak
seperti kebiasaan
manusia pada
umumnya) yang
disegani. Salah satu
contohnya, AM
melakukan riyadah
(tirakat) selama 40 hari
puasa, siang malam,
tidak makan dan
minum. Pada hari
terakhir puasanya, AM
menyuruh istrinya
membelikan makanan
yang paling disukainya di
pasar. Setelah makanan
itu matang, bahkan
baru hangat-hangatnya
dan menjelang magrib,
AM justru berkelakuan
aneh. Dia menyuruh
istrinya mengikatnya di
sebuah tiang.Pada saat
magrib tiba, nafsu
makannya menggelora
dengan dahsyat. Di
depannya tersedia
makanan yang paling
disukainya. Pertarungan
nafsu dan qalbun salim
(hati yang bersih/
selamat) akhirya
dimenangkan oleh
qalbun salim. Ajaib, dari
dalam perutnya keluar
dua anjing. Kedua
binatang yang
melambangkan bentuk
nafsu makan itu
langsung memakan
habis makanan yang
tersedia di depannya.
Namun, kemudian ingin
masuk ke dalam
perutnya lagi.AM
menolak dan akhirnya
kedua anjing tersebut
menjadi khadim
(pembantu) setia AM
dalam perjuangannya.
Kedua anjing itu
kemudian diberinama
Qomaruddin dan Abdul
Qohhar (konon katanya
kedua nama itu diambil
dari nama penguasa
zalim dari Tuban).Mitos
sejarah ini begitu
melekat dalam jiwa
masyarakat sekitar dan
para santri yang
mondok di Kajen. Setiap
hari, dari pagi hingga
malam, nonstop selama
24 jam makam AM
tidak pernah sepi dari
pengunjung. Alunan
bacaan Alquran, tahlil,
tahmid, takbir, dan
salawat bergema
sepanjang hari,
menyemarakkan
suasana desa tersebut
yang dihuni ribuan
santri.Pertanyaannya
kemudian, apakah
hanya sebatas itu ibrah
yang dapat kita ambil
pada saat Islam
terkena musibah besar
sebagai agama yang
identik dengan
ekstremisme,
radikalisme, dan
terorisme?Banyak yang
bisa kita ambil
sebenarnya. Namun,
yang paling penting
adalah belajar dari
kecerdasan dan
kepiwaian AM dalam
menerapkan strategi
perjuangan di tengah-
tengah umat yang
terkenal dengan
pendekatan kultural-
kontekstual.Pendekatan
yang digunakan bukan
institusi versus
institusi. Dia lebih
memilih membangun
institusi sendiri yang
berada di luar
pemerintahan, yaitu
tasawuf. AM tidak
melawan pemerintah. Di
sini kita dapat melihat,
bagaimana AM sangat
matang dalam
mengatur strategi
perjuangannya. Dia tidak
anti dan pro terhadap
pemerintah, tetapi
berada di tengah kedua
arus tersebut.Melalui
strategi kultural ini AM
menanamkan
kesadaran dan
pencerahan kepada
umat lewat forum
pengajian, majelis
taklim yang sesuai
dengan urat nadi
persoalan rakyat. Dia
berbicara sesuai dengan
napas umat, sehingga
mampu memberikan
solusi sederhana yang
aplikatif terhadap
persoalan yang terjadi.
(Jamal Maímur
Asmani,Alumnus PP
Mathaliíul Falah dan
Raudlatul Ulum Kajen,
Margoyoso, Pati.
Sekarang aktif di
CePDeS (Central for
Pesantren and
Democracy
Studies).Strategi inilah
yang dipakai oleh para
Wali Songo, terutama
Sunan Kalijaga. Ada
integrasi dan akulturasi
Islam dengan budaya
dan tradisi masyarakat
setempat secara
simbiosis-mutualisme.
Saling memengaruhi
satu sama lain, menjadi
satu kekuatan
perubahan besar
melawan kultur
feodalisme-patriarki
yang dilakukan oleh para
raja secara gradual,
step by step.Artinya,
asimilasi kedua unsur
tersebut dijadikan
jembatan untuk
melakukan perlawanan
terhadap kekuasaan.
Dalam pandangan Ketua
LIPI Dr Taufiq Abdullah,
model strategi
semacam ini sama
dengan model relasi
agama dengan
kekuasaan, yang antara
Islam dan negara dapat
berhubungan sebuah
tradisi NGO (non
governance
organization) atau
sebuah LSM (lemaga
swadaya
masyarakat).Ada
kemandirian, solidaritas
dan kohesivitas serta
mobilitas sosial kolektif
dalam memperjuangkan
hak-haknya.Untuk saat
ini, pendekatan
perjuangan model AM
sangat efektif dan
sudah teruji roda
sejarah. Terbukti,
apabila yang dipilih
adalah pendekatan
politis, legal formal,
struktural dengan
target dan ambisi,
bukan hasil memuaskan
yang dicapai, justru
kehancuran, resistensi
dan tidak mempunyai
kontinuitas. Mudah
hanyut ditelan waktu,
cepat lapuk oleh
putaran masa.AM
mempunyai perhatian
dan kepedulian yang
total dalam melakukan
pemberdayaan dan
pencerahan kalangan
grassroot, akar rumput.
Agama dalam
genggaman AM tidak
sekadar slogan utopis,
sekadar khotbah di
podium, tapi betul-betul
merupakan sebuah
gerak aktif-dinamis,
bersenyawa dengan
problem kemanusiaan,
mampu menjadi
lokomotif transformasi
dan evolusi bagi
persoalan masyarakat
secara luas, baik sosial,
budaya, ekonomi,
maupun politik.Agama
bukan berada di menara
gading, asyik dengan
dunianya, tidak mampu
menginjakkan kakinya di
bumi, realitas yang
sebenarnya. Hal yang
menjadi kecenderungan
kaum agamawan dan
akademisi saat ini.
Mereka enjoy dengan
dunianya, sedangkan
persoalan rakyat secara
empiris tidak pernah
tersentuh.AM ini kalau
dalam pandangan Ali
Syariíati, intelektual
terkemuka Iran,
termasuk salah satu
tokoh intelektual yang
tercerahkan, seorang
intelektual yang betul-
betul mengabdikan ilmu
dan jiwanya demi
penyadaran, kemajuan
dan pengembangan
masyarakat.Atas jerih
payah dan prestasinya
inilah, sangat pantas
kalau Syeikh Ahmad
Mutamakkin saat ini
menjadi legenda
masyarakat Kajen dan
seluruh penjuru negeri
ini. Sudah
sepantasnyalah kita
sebagai kader penerus
perjuangan beliau tidak
hanya menjadikannya
mitos sejarah yang
menyebabkan muncul
romantisme historis-
pasif. Namun,
seharusnya kita benar-
benar menjadikannya
sebagai kekuatan
perubahan dalam
kehidupan masyarakat.
semoga bermanfaat
bagi kita semua.