Minggu, 21 November 2010

KISAH SUFI"Syekh Siti Jenar"

Syekh Siti Jenar (juga
dikenal dalam banyak
nama lain, antara lain
Sitibrit, Lemahbang,
dan Lemah Abang)
adalah seorang tokoh
yang dianggap Sufi dan
juga salah satu
penyebar agama Islam
di Pulau Jawa. Tidak ada
yang mengetahui
secara pasti asal-
usulnya. Di masyarakat
terdapat banyak varian
cerita mengenai asal-
usul Syekh Siti Jenar.
Sebagian umat Islam
menganggapnya sesat
karena ajarannya yang
terkenal, yaitu
Manunggaling Kawula
Gusti. Akan tetapi
sebagian yang lain
menganggap bahwa

Syekh Siti Jenar adalah
intelektual yang sudah
mendapatkan esensi
Islam itu sendiri. Ajaran
- ajarannya tertuang
dalam pupuh, yaitu
karya sastra yang
dibuatnya. Meskipun
demikian, ajaran yang
sangat mulia dari Syekh
Siti Jenar adalah budi
pekerti.
Syekh Siti Jenar
mengembangkan ajaran
cara hidup sufi yang
dinilai bertentangan
dengan ajaran
Walisongo.
Pertentangan praktek
sufi Syekh Siti Jenar
dengan Walisongo
terletak pada
penekanan aspek
formal ketentuan
syariah yang dilakukan
oleh Walisongo.
Konsep dan
ajaran
Ajaran Syekh Siti Jenar
yang paling
kontroversial terkait
dengan konsepnya
tentang hidup dan mati,
Tuhan dan kebebasan,
serta tempat
berlakunya syariat
tersebut. Syekh Siti
Jenar memandang
bahwa kehidupan
manusia di dunia ini
disebut sebagai
kematian. Sebaliknya,
yaitu apa yang disebut
umum sebagai
kematian justru disebut
sebagai awal dari
kehidupan yang hakiki
dan abadi.
Konsekuensinya, ia
tidak dapat dikenai
hukum yang bersifat
keduniawian (hukum
negara dan lainnnya),
tidak termasuk
didalamnya hukum
syariat peribadatan
sebagaimana ketentuan
syariah. Dan menurut
ulama pada masa itu
yang memahami inti
ajaran Siti Jenar bahwa
manusia di dunia ini
tidak harus memenuhi
rukun Islam yang lima,
yaitu: syahadat, salat,
puasa, zakat dan haji.
Baginya, syariah itu baru
berlaku sesudah
manusia menjalani
kehidupan paska
kematian. Syekh Siti
Jenar juga berpendapat
bahwa Allah itu ada
dalam dirinya, yaitu di
dalam budi. Pemahaman
inilah yang
dipropagandakan oleh
para ulama pada masa
itu. Mirip dengan konsep
Al-Hallaj (tokoh sufi
Islam yang dihukum
mati pada awal sejarah
perkembangan Islam
sekitar abad ke-9
Masehi) tentang Hulul
yang berkaitan dengan
kesamaan sifat
manusia dan Tuhan.
Dimana Pemahaman
ketauhidan harus
dilewati melalui 4
tahapan ; 1. Syariat
(dengan menjalankan
hukum-hukum agama
spt salat, zakat dll); 2.
Tarekat, dengan
melakukan amalan-
amalan spt wirid, dzikir
dalam waktu dan
hitungan tertentu; 3.
Hakekat, dimana
hakekat dari manusia
dan kesejatian hidup
akan ditemukan; dan 4.
Ma'rifat, kecintaan
kepada Allah dengan
makna seluas-luasnya.
Bukan berarti bahwa
setelah memasuki
tahapan-tahapan
tersebut maka tahapan
dibawahnya ditiadakan.
Pemahaman inilah yang
kurang bisa dimengerti
oleh para ulama pada
masa itu tentang ilmu
tasawuf yang
disampaikan oleh Syekh
Siti Jenar. Ilmu yang
baru bisa dipahami
setelah melewati
ratusan tahun pasca
wafatnya sang Syekh.
Para ulama
mengkhawatirkan
adanya
kesalahpahaman dalam
menerima ajaran yang
disampaikan oleh Syekh
Siti Jenar kepada
masyarakat awam
dimana pada masa itu
ajaran Islam yang harus
disampaikan adalah
pada tingkatan 'syariat'.
Sedangkan ajaran Siti
Jenar sudah memasuki
tahap 'hakekat' dan
bahkan 'ma'rifat'kepada
Allah (kecintaan dan
pengetahuan yang
mendalam kepada
ALLAH). Oleh karenanya,
ajaran yang
disampaikan oleh Siti
Jenar hanya dapat
dibendung dengan kata
'SESAT'.
Dalam pupuhnya, Syekh
Siti Jenar merasa malu
apabila harus berdebat
masalah agama.
Alasannya sederhana,
yaitu dalam agama
apapun, setiap pemeluk
sebenarnya
menyembah zat Yang
Maha Kuasa. Hanya saja
masing - masing
menyembah dengan
menyebut nama yang
berbeda - beda dan
menjalankan ajaran
dengan cara yang belum
tentu sama. Oleh
karena itu, masing -
masing pemeluk tidak
perlu saling berdebat
untuk mendapat
pengakuan bahwa
agamanya yang paling
benar.
Syekh Siti Jenar juga
mengajarkan agar
seseorang dapat lebih
mengutamakan prinsip
ikhlas dalam
menjalankan ibadah.
Orang yang beribadah
dengan mengharapkan
surga atau pahala
berarti belum bisa
disebut ikhlas.
Manunggaling Kawula
Gusti
Dalam ajarannya ini,
pendukungnya
berpendapat bahwa
Syekh Siti Jenar tidak
pernah menyebut
dirinya sebagai Tuhan.
Manunggaling Kawula
Gusti dianggap bukan
berarti bercampurnya
Tuhan dengan
Makhluknya, melainkan
bahwa Sang Pencipta
adalah tempat kembali
semua makhluk. Dan
dengan kembali kepada
Tuhannya, manusia
telah menjadi bersatu
dengan Tuhannya.
Dan dalam ajarannya,
'Manunggaling Kawula
Gusti' adalah bahwa di
dalam diri manusia
terdapat ruh yang
berasal dari ruh Tuhan
sesuai dengan ayat Al
Qur'an yang
menerangkan tentang
penciptaan manusia
("Ketika Tuhanmu
berfirman kepada
malaikat:
"Sesungguhnya Aku
akan menciptakan
manusia dari tanah.
Maka apabila telah
Kusempurnakan
kejadiannya dan
Kutiupkan kepadanya
roh Ku; maka hendaklah
kamu tersungkur
dengan bersujud
kepadanya (Shaad;
71-72)")>. Dengan
demikian ruh manusia
akan menyatu dengan
ruh Tuhan dikala
penyembahan terhadap
Tuhan terjadi.
Perbedaan penafsiran
ayat Al Qur'an dari para
murid Syekh Siti inilah
yang menimbulkan
polemik bahwa di dalam
tubuh manusia
bersemayam ruh
Tuhan, yaitu polemik
paham 'Manunggaling
Kawula Gusti'.
Pengertian
Zadhab
Dalam kondisi manusia
modern seperti saat ini
sering temui manusia
yang mengalami hal ini
terutama dalam agama
Islam yang sering
disebut zadhab atau
kegilaan berlebihan
terhadap Illa yang maha
Agung atau Allah.
Mereka belajar tentang
bagaimana Allah
bekerja, sehingga ketika
keinginannya sudah
lebur terhadap
kehendak Allah, maka
yang ada dalam
pikirannya hanya Allah,
Allah, Allah dan Allah....
disekelilingnya tidak
tampak manusia lain
tapi hanya Allah yang
berkehendak, Setiap
Kejadian adalah maksud
Allah terhadap Hamba
ini.... dan inilah yang
dibahayakan karena
apabila tidak ada GURU
yang Mursyid yang
berpedoman pada Al
Quran dan Hadits maka
hamba ini akan keluar
dari semua aturan yang
telah ditetapkan Allah
untuk manusia.Karena
hamba ini akan
gampang terpengaruh
syaitan, semakin tinggi
tingkat keimanannya
maka semakin tinggi
juga Syaitan
menjerumuskannya.Seperti
contohnya Lia Eden dll...
mereka adalah hamba
yang ingin dekat dengan
Allah tanpa pembimbing
yang telah melewati
masa ini, karena apabila
telah melewati masa ini
maka hamba tersebut
harus turun agar bisa
mengajarkan yang HAK
kepada manusia lain.
Seperti juga Syekh Siti
Jenar yang kematiannya
menjadi
kontroversi.Dalam
masyarakat jawa
kematian ini disebut
"MUKSO" ruh beserta
jasadnya diangkat Allah.
Hamamayu Hayuning
Bawana
Prinsip ini berarti
memakmurkan bumi. Ini
mirip dengan pesan
utama Islam, yaitu
rahmatan lil alamin.
Seorang dianggap
muslim, salah satunya
apabila dia bisa
memberikan manfaat
bagi lingkungannya dan
bukannya menciptakan
kerusakan di bumi.
Kontroversi
Kontroversi yang lebih
hebat terjadi di sekitar
kematian Syekh Siti
Jenar. Ajarannya yang
amat kontroversial itu
telah membuat gelisah
para pejabat kerajaan
Demak Bintoro. Di sisi
kekuasaan, Kerajaan
Demak khawatir ajaran
ini akan berujung pada
pemberontakan
mengingat salah satu
murid Syekh Siti Jenar,
Ki Ageng Pengging atau
Ki Kebokenanga adalah
keturunan elite
Majapahit (sama seperti
Raden Patah) dan
mengakibatkan konflik
di antara keduanya.
Dari sisi agama Islam,
Walisongo yang
menopang kekuasaan
Demak Bintoro,
khawatir ajaran ini akan
terus berkembang
sehingga menyebarkan
kesesatan di kalangan
umat. Kegelisahan ini
membuat mereka
merencanakan satu
tindakan bagi Syekh Siti
Jenar yaitu harus
segera menghadap
Demak Bintoro.
Pengiriman utusan
Syekh Dumbo dan
Pangeran Bayat
ternyata tak cukup
untuk dapat membuat
Siti Jenar memenuhi
panggilan Sri Narendra
Raja Demak Bintoro
untuk menghadap ke
Kerajaan Demak. Hingga
konon akhirnya para
Walisongo sendiri yang
akhirnya datang ke
Desa Krendhasawa di
mana perguruan Siti
Jenar berada.[rujukan?]
Para Wali dan pihak
kerajaan sepakat untuk
menjatuhkan hukuman
mati bagi Syekh Siti
Jenar dengan tuduhan
telah membangkang
kepada raja. Maka
berangkatlah lima wali
yang diusulkan oleh
Syekh Maulana Maghribi
ke Desa Krendhasawa.
Kelima wali itu adalah
Sunan Bonang, Sunan
Kalijaga, Pangeran
Modang, Sunan Kudus,
dan Sunan Geseng.
Sesampainya di sana,
terjadi perdebatan dan
adu ilmu antara kelima
wali tersebut dengan
Siti Jenar. Menurut Siti
Jenar, kelima wali
tersebut tidak usah
repot-repot ingin
membunuh Siti Jenar.
Karena beliau dapat
meminum tirtamarta
(air kehidupan) sendiri.
Ia dapat menjelang
kehidupan yang hakiki
jika memang ia dan
budinya
menghendaki.[rujukan?]
Tak lama, terbujurlah
jenazah Siti Jenar di
hadapan kelima wali.
Ketika hal ini diketahui
oleh murid-muridnya,
serentak keempat
muridnya yang benar-
benar pandai yaitu Ki
Bisono, Ki Donoboyo, Ki
Chantulo dan Ki
Pringgoboyo pun
mengakhiri "kematian"-
nya dengan cara yang
misterius seperti yang
dilakukan oleh gurunya
di hadapan para
wali.[rujukan?]
Kisah pada saat
pasca kematian
Terdapat kisah yang
menyebutkan bahwa
ketika jenazah Siti Jenar
disemayamkan di Masjid
Demak, menjelang salat
Isya, semerbak beribu
bunga dan cahaya kilau
kemilau memancar dari
jenazah Siti Jenar.
Jenazah Siti Jenar
sendiri dikuburkan di
bawah Masjid Demak
oleh para wali. Pendapat
lain mengatakan, ia
dimakamkan di Masjid
Mantingan, Jepara,
dengan nama lain.
Setelah tersiar kabar
kematian Syekh Siti
Jenar, banyak muridnya
yang mengikuti jejak
gurunya untuk menuju
kehidupan yang hakiki.
Di antaranya yang
terceritakan adalah Kiai
Lonthang dari Semarang
Ki Kebo Kenanga dan Ki
Ageng Tingkir.