Minggu, 21 November 2010

KISAH SUFI"Husain ibn Mansur Al- Hallaj"

Husain ibn Mansur al-
Hallaj atau biasa
disebut dengan Al-
Hallaj adalah salah
seorang ulama sufi
yang dilahirkan di kota
Thur yang bercorak
Arab di kawasan
Baidhah, Iran Tenggara,
pada tanggal 26 Maret
866M. Ia merupakan
seorang keturuna
Persia. Kakeknya adalah
seorang penganut
Zoroaster dan ayahnya
memeluk islam. Al-Hallaj
merupakan syekh sufi
abad ke-9 dan ke-10
yang paling terkenal. Ia
terkenal karena
berkata: "Akulah
Kebenaran", ucapan
yang membuatnya
dieksekusi secara
brutal.

Bagi sebagian ulama
islam, kematian ini
dijustifikasi dengan
alasan bid'ah, sebab
Islam tidak menerima
pandangan bahwa
seorang manusia bisa
bersatu dengan Allah
dan karena Kebenaran
(Al-Haqq) adalah salah
satu nama Allah, maka
ini berarti bahwa al-
Hallaj menyatakan
ketuhanannya sendiri.
Kaum sufi sejaman
dengan al-Hallaj juga
terkejut oleh
pernyataannya, karena
mereka yakin bahwa
seorang sufi
semestinya tidak boleh
mengungkapkan
segenap pengalaman
batiniahnya kepada
orang lain. Mereka
berpandangan bahwa
al-Hallaj tidak mampu
menyembunyikan
berbagai misteri atau
rahasia Ilahi, dan
eksekusi atas dirinya
adalah akibat dari
kemurkaan Allah
lantaran ia telah
mengungkapkan
segenap kerahasiaan
tersebut
Meskipun al-Hallaj tidak
punya banyak
pendukung di kalangan
kaum sufi sezamannya,
hampir semua syekh
sufi sesungguhnya
memuji dirinya dan
berbagai pelajaran yang
diajarkannya. Aththar,
dalam karyanya
Tadzkirah al-Awliya,
menyuguhkan kepada
kita banyak legenda
seputar al-Hallaj. Dalam
komentarnya, ia
menyatakan, "Saya
heran bahwa kita bisa
menerima semak
belukar terbakar (yakni,
mengacu pada
percakapan Allah
dengan nabi Musa as)
yang menyatakan Aku
adalah Allah, serta
meyakini bahwa kata-
kata itu adalah kata-
kata Allah, tapi kita
tidak bisa menerima
ucapan al-Hallaj, 'Akulah
Kebenaran', padahal itu
kata-kata Allah sendiri!".
Di dalam syair epiknya,
Matsnawi, Rumi
mengatakan, "Kata-
kata 'Akulah Kebenaran'
adalah pancaran cahaya
di bibir Manshur,
sementara Akulah
Tuhan yang berasal dari
Fir'aun adalah
kezaliman."
Kehidupan Al-
Hallaj
Masa kanak-kanak
Al-Hallaj di lahirkan di
kota Thur yang
bercorak Arab di
kawasan Baidhah, Iran
tenggara, pada 866M.
Berbeda dengan
keyakinan umum, ia
bukan orang Arab,
melainkan keturunan
Persia. Kakeknya adalah
seorang penganut
Zoroaster dan ayahnya
memeluk islam.
Ketika al-Hallaj masih
kanak-kanak, ayahnya,
seorang penggaru
kapas (penggaru adalah
seorang yang bekerja
menyisir dan
memisahkan kapas dari
bijinya). Bepergian bolak-
balik antara Baidhah,
Wasith, sebuah kota
dekat Ahwaz dan
Tustar. Dipandang
sebagai pusat tekstil
pada masa itu, kota-
kota ini terletak di tapal
batas bagian barat Iran,
dekat dengan pusat-
pusat penting seperti
Bagdad, Bashrah, dan
Kufah. Pada masa itu,
orang-orang Arab
menguasai kawasan ini,
dan kepindahan
keluarganya berarti
mencabut, sampai
batas tertentu, akar
budaya al-Hallaj.
Masa remaja
Di usia sangat muda, ia
mulai mempelajari tata
bahasa Arab, membaca
Al-Qur'an dan tafsir
serta teologi. Ketika
berusia 16 tahun, ia
merampungkan
studinya, tapi
merasakan kebutuhan
untuk
menginternalisasikan
apa yang telah
dipelajarinya. Seorang
pamannya bercerita
kepadanya tentang Sahl
at-Tustari, seorang sufi
berani dan independen
yang menurut hemat
pamannya,
menyebarkan ruh hakiki
Islam. Sahl adalah
seorang sufi yang
mempunyai kedudukan
spiritual tinggi dan
terkenal karena tafsir
Al-Qur'annya. Ia
mengamalkan secara
ketat tradisi Nabi dan
praktek-praktek
kezuhudan keras
semisal puasa dan salat
sunnat sekitar empat
ratus rakaat sehari. Al-
Hallaj pindah ke Tustar
untuk berkhidmat dan
mengabdi kepada sufi
ini.
Dua tahun kemudian, al-
Hallaj tiba-tiba
meninggalkan Sahl dan
pindah ke Bashrah. Di
Bashrah, ia berjumpa
dengan Amr al-Makki
yang secara formal
mentahbiskannya
dalam tasawuf. Amr
adalah murid Junaid,
seorang sufi paling
berpengaruh saat itu.
Al-Hallaj bergaul dengn
Amr selama delapan
belas bulan. Akhirnya ia
meninggalkan Amr juga.
Ibadah haji
Pada tahun 892M, Al-
Hallaj memutuskan
untuk menunaikan
ibadah haji ke Mekah.
Kaum Muslimin
diwajibkan menunaikan
ibadah ini sekurang-
kurangnya sekali
selama hidup (bagi
mereka yang mampu).
Namun ibadah haji yang
dilakukan al-Hallaj
tidaklah biasa,
melainkan berlangsung
selama setahun penuh,
dan setiap hari
dihabiskannya dengan
puasa dari siang hingga
malam hari. Tujuan al-
Hallaj melakukan
praktek kezuhudan
keras seperti ini adalah
menyucikan hatinya
menundukkannya
kepada Kehendak Ilahi
sedemikian rupa agar
dirinya benar-benar
sepenuhnya diliputi oleh
Allah. Ia pulang dari
menunaikan ibadah haji
dengan membawa
pikiran-pikiran baru
tentang berbagai topik
seperti inspirasi Ilahi,
dan ia membahas
pikiran-pikiran ini dengan
para sufi lainnya.
Diantaranya adalah Amr
al-Makki dan juga Junaid.
Menjadi guru
Usai membahas
pemikirannya dengan
sufi-sufi lain, banyak
reaksi baik positif
maupun negatif yang
diterima oleh Al-Hajjaj
yang kemudian
memberinya keputusan
untuk kembali ke
Bashrah. Ketika al-Hallaj
kembali ke Bashrah, ia
memulai mengajar,
memberi kuliah, dan
menarik sejumlah besar
murid. Namun pikiran-
pikirannya bertentangan
dengan ayah
mertuanya. Walhasil,
hubungan merekapun
memburuk, dan ayah
mertuanya sama sekali
tidak mau mengakuinya.
Ia pun kembali ke
Tustar, bersama
dengan istri dan adik
iparnya, yang masih
setia kepadanya. Di
Tustar ia terus
mengajar dan meraih
keberhasilan gemilang.
Akan tetapi, Amr al-
Makki yang tidak bisa
melupakan konflik
mereka, mengirimkan
surat kepada orang-
orang terkemuka di
Ahwaz dengan
menuduh dan menjelek-
jelekkan nama al-Hallaj,
situasinya makin
memburuk sehingga al-
Hallaj memutuskan
untuk menjauhkan diri
dan tidak lagi bergaul
dengan kaum sufi.
Sebaliknya ia malah
terjun dalam kancah
hingar-bingar dan hiruk-
pikuk duniawi.
Al-Hallaj meninggalkan
jubah sufi selama
beberapa tahun, tapi
tetap terus mencari
Tuhan. Pada 899M, ia
berangkat mengadakan
pengembaraan
apostolik pertamanya
ke batasan timur laut
negeri itu, kemudian
menuju selatan, dan
akhirnya kembali lagi ke
Ahwaz pada 902M.
Dalam perjalanannya, ia
berjumpa dengan guru-
guru spiritual dari
berbagai macam tradisi
di antaranya,
Zoroastrianisme dan
Manicheanisme. Ia juga
mengenal dan akrab
dengan berbagai
terminologi yang
mereka gunakan, yang
kemudian digunakannya
dalam karya-karyanya
belakangan. Ketika ia
tiba kembali di Tustar,
ia mulai lagi mengajar
dan memberikan kuliah.
Ia berceramah tentang
berbagai rahasia alam
semesta dan tentang
apa yang terbersit
dalam hati jamaahnya.
Akibatnya ia dijuluki
Hallaj al-Asrar (kata
Asrar bisa bermakna
rahasia atau kalbu. Jadi
al-Hallaj adalah sang
penggaru segenap
rahasia atau Kalbu,
karena Hallaj berarti
seorang penggaru) ia
menarik sejumlah besar
pengikut, namun kata-
katanya yang tidak
lazim didengar itu
membuat sejumlah
ulama tertentu takut,
dan ia pun dituduh
sebagai dukun.
Setahun kemudian, ia
menunaikan ibadah haji
kedua. Kali ini ia
menunaikan ibadah haji
sebagai seorang guru
disertai empat ratus
pengikutnya. Sesudah
melakukan perjalanan
ini, ia memutuskan
meninggalkan Tustar
untuk selamanya dan
bermukim di Baghdad,
tempat tinggal
sejumlah sufi terkenal,
ia bersahabat dengan
dua diantaranya
mereka, Nuri dan Syibli.
Pada 906M, ia
memutuskan untuk
mengemban tugas
mengislamkan orang-
orang Turki dan orang-
orang kafir. Ia berlayar
menuju India selatan,
pergi keperbatasan
utara wilayah Islam,
dan kemudian kembali
ke Bagdad. Perjalanan ini
berlangsung selama
enam tahun dan
semakin membuatnya
terkenal di setiap
tempat yang
dikunjunginya. Jumlah
pengikutnya makin
bertambah.
Akulah Kebenaran!' dan
hari-hari terakhir
Tahun 913M adalah titik
balik bagi karya
spiritualnya. Pada 912M
ia pergi menunaikan
ibadah haji untuk ketiga
kalinya dan terakhir kali,
yang berlangsung
selama dua tahun, dan
berakhir dengan
diraihnya kesadaran
tentang Kebenaran. Di
akhir 913M inilah ia
merasa bahwa hijab-
hijab ilusi telah
terangkat dan
tersingkap, yang
menyebabkan dirinya
bertatap muka dengan
sang Kebenaran (Al-
Haqq). Di saat inilah ia
mengucapkan, "Akulah
Kebenaran" (Ana Al-
Haqq) dalam keadaan
ekstase. Perjumpaan ini
membangkitkan dalam
dirinya keinginan dan
hasrat untuk
menyaksikan cinta Allah
pada menusia dengan
menjadi "hewan
kurban". Ia rela dihukum
bukan hanya demi dosa-
dosa yang dilakukan
setiap muslim,
melainkan juga demi
dosa-dosa segenap
manusia.
Di jalan-jalan kota
Baghdad, dipasar, dan di
masjid-masjid, seruan
aneh pun terdengar:
"Wahai kaum muslimin,
bantulah aku!
Selamatkan aku dari
Allah! Wahai manusia,
Allah telah
menghalalkanmu untuk
menumpahkan darahku,
bunuhlah aku, kalian
semua bakal
memperoleh pahala, dan
aku akan datang
dengan suka rela. Aku
ingin si terkutuk ini
(menunjuk pada dirinya
sendiri) dibunuh."
Kemudian, al-Hallaj
berpaling pada Allah
seraya berseru,
"Ampunilah mereka,
tapi hukumlah aku atas
dosa-dosa mereka."
Tetapi, kata-kata ini
justru mengilhami
orang-orang untuk
menuntut adanya
perbaikan dalam
kehidupan dan
masyarakat mereka.
Lingkungan sosial dan
politik waktu itu
menimbulkan banyak
ketidakpuasan di
kalangan masyarakat.
Orang banyak menuntut
agar khalifah
menegakkan kewajiban
yang diembannya.
Sementara itu, yang lain
menuntut adanya
pembaruan dan
perubahan dalam
masyarakat sendiri.
Tak pelak lagi, al-Hallaj
pun punya banyak
sahabat dan musuh di
dalam maupun di luar
istana khalifah. Para
pemimpin oposisi, yang
kebanyakan adalah
murid al-Hallaj,
memandangnya sebagai
Imam Mahdi atau juru
selamat. Para
pendukungnya di
kalangan pemerintahan
melindunginya
sedemikian rupa
sehingga ia bisa
membantu
mengadakan
pembaruan sosial.
Pada akhirnya,
keberpihakan al-Hallaj
berikut pandangan-
pandangannya tentang
agama, menyebabkan
dirinya berada dalam
posisi berseberangan
dengan kelas penguasa.
Pada 918M, ia diawasi,
dan pada 923M ia
ditangkap.
Al-Hallaj dipenjara
selama hampir sembilan
tahun. Selama itu ia
terjebak dalam baku
sengketa antara
segenap sahabat dan
musuhnya. Serangkaian
pemberontakan dan
kudeta pun meletus di
Baghdad. Ia dan
sahabat-sahabatnya
disalahkan dan dituduh
sebagai penghasut.
Berbagai peristiwa ini
menimbulkan
pergulatan kekuasaan
yang keras di kalangan
istana khalifah.
Akhirnya, wazir
khalifah, musuh
bebuyutan al-Hallaj
berada di atas angin,
sebagai unjuk
kekuasaan atas musuh-
musuhnya ia
menjatuhkan hukuman
mati atas al-Hallaj dan
memerintahkan agar ia
dieksekusi.
Akhirnya, al-Hallaj
disiksa di hadapan orang
banyak dan dihukum di
atas tiang gantungan
dengan kaki dan
tangannya terpotong.
Kepalanya dipenggal
sehari kemudian dan
sang wazir sendiri hadir
dalam peristiwa itu.
Sesudah kepalanya
terpenggal, tubuhnya
disiram minyak dan
dibakar. Debunya
kemudian dibawa ke
menara di tepi sungai
Tigris dan diterpa angin
serta hanyut di sungai
itu.